Kamis, 10 Februari 2011

URGENSI PERUBAHAN

URGENSI PERUBAHAN
M. Syamsi Ali

Tulisan ini tidak saja merujuk kepada perkembangan mutakhir di Timur Tengah, Tunisia, Mesir, Yaman, Yordan, dll., bahkan merujuk kepada seluruh kaum Muslimin dan bahkan seluruh umat manusia. Bahwa perubahan adalah ‘sunnatullah fil khalq’ (Hukum Allah dalam Penciptaan) dan karenanya menjadi dasar penting dalam ciptaan itu sendiri. Artinya, hidup itu identikal dengan perubahan. Dengan kata lain, hidup itu berubah, dan manusia sebagai ‘sayyidul khalq’ (penghulu dari segala ciptaan atau the best/master of all creation ) dituntut untuk bangkit menjadi pelaku atau agen perubahan.
 
Tengoklah alam sekitar, semuanya mengalami perubahan. ‘Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi dan pergantian siang dan malam adalah tanda-tanda (kebesana Allah) bagi orang-orang yang memiliki akal’ (Al-Imran). Kata ‘pergantian siang dan malam’ menunjukkan perputaran kosmos yang tiada henti. Menunjukkan bahwa perubahan adalah konstan dan alami sifatnya.
 
Surah Yaasiin barangkali lebih gambling menjelaskan bahwa setiap partikel dan alam semesta ini, setiap debu dari bermilyar-milyar bagian dari alam semesta ini ‘berjalan pada porosnya masing-masing’ (wa kullun fii falakin yasbahuun). Menunjukkan bahwa alam semesta ini mengalami ‘pergerakan’ dan ‘perubahan secara ‘berkesinambungan’ dan ‘sinergi’ tunduk patuh di bahwa hukum Allah dalam penciptaan tadi.
 
Ayat-ayat Al-Qur’an begitu kaya dengan informasi dan ilustrasi tentang ‘pergerakan’ (harakah) dan ‘perubahan’ (taghyiir) itu. Sehingga sangat terasa betapa Al-Qur’an mendorong mereka yang meyakininya untuk terus menerus melakukan pergerakan dan perubahan. Seolah dengan gambaran alam dalam pergerakan dan perubahan Allah menyampaikan ‘peringatan’ bahwa cuma ada tiga pilihan bagi manusia: aktif menjadi pelaku perubahan, berjalan seiring secara harmoni dengan perubahan alamiah, atau menjadi objek (atau mungkin korban) dari perubahan itu sendiri.
 
Bahkan hidup manusia itu sendiri cukup menjadi bukti terjadi perubahan konstan dalam kehidupan. Kehidupan jasad maupun non jasad keduanya mengalami perubahan dari masa-masa. Manusia terlahir dalam keadaan lemah, tumbuh menjadi seorang pemuda yang gagah kuat, lalu lambat laun mengalami penurunan, dan pada akhirnya kembali seperti semula. Secara kejiwaan juga manusia mengalami perubahan dari suatu keadaan ke keadaan yang lain. Terkadang gembira, tidak jarang pula menjadi sedih. Terkadang bahagia dan juga terkadang merasakan perihnya hidup.
 
Lebih jauh, Al-Qur’an menggambarkan keadaan manusia itu mengalami perubahan secara pasti dan alami. Ada masa manusia mengalami kesuksesan dan kejayaan. Tapia da masa pula manusia terjatuh ke dalam situasi ‘kegagalan’ dan bahkan ‘kekalahan’. Suasana perubahan ini tergambarkan dalam Al-Qur’an: ‘Dan pada hari itu Kami pergilirkan di antara manusia’ (Al-Qur’an). ‘tadaawul’ dalam bahasa Al-Qur’an ini berarti pergantian (shift).
 
Intinya, tidak ada yang abadi. Mereka yang kuat hari ini, boleh jadi esok hari menjadi lemah. Mereka yang kaya hari ini, boleh jadi keesokan harinya menjadi miskin. Mereka yang termarjinalkan hari ini, boleh jadi masa depan yang dekat mereka menjadi ‘empowered’ (dikuatkan). Itulah perubahan yang terjadi dan pasti adanya.
 
Misi Rasul
 
Mayoritas umat memahami bahwa diutusnya para rasul tidak lebih dating untuk menyampaikan pesan langit tentang ‘keesaan Pencipta’ (tauhid). Tentunya benar. Bahkan ayat Al-Qur’an mendukung hal tersebut ‘Dan sesungguhnya Kami telah mengutus para nabi untuk mengajak: sembahlah Allah, tiada tuhan selain Dia’ (maa lakum min ilaahin ghauruh).
 
Masalahnya adalah, apakah pemahaman ‘tauhid’ terbatas hanya kepada masalah ‘tologis’? Ataukah pemahaman tauhid itu justeru harus mampu melahirkan konsekwensi-konsekwensi sosial dalam kehidupan manusia, termasuk ‘kesetaraan’ (equality) manusia itu sendiri.
 
Berpijak dari pemahaman ‘konsekwensi sosial’ tauhid inilah dapat dikatakan bahwa salah satu tujuan mendasar dari diutusnya para rasul adalah untuk melakukan perubahan ‘fundamental’ dan ‘komprehensif’ dalam kehidupan manusia. Saya katakana fundamental karena perubahan dimulai dari perubahan ‘hati’ yang memang sumber prilaku manusia. Dan komprehensif karena memang perubahan yang dibawa para rasul tidak bersifat parsial. Tapi mencakup seluruh tatanan kehidupan itu sendiri.
 
Jika ambil nabi Nuh AS sebagai contoh maka akan Nampak bahwa diutusnya beliau memang dimulai dari tujuan melakukan perubahan dalam pemahaman tauhid ‘teologis’. Tapi pada akhirnya adalah terjadi ‘edukasi persepsi’ kepada Nuh AS itu sendiri. Edukasi persepsi ini sangat penting dalam mengawali perubahan itu sendiri. Sebab jika persepsi tidak berubah, maka akan sulit untuk diharapkan adanya dorongan untuk berubah dan melakukan perubahan itu sendiri.
 
Edukasi persepsi yang besar terhadap nabi Nuh AS adalah dalam konsep hubungan antar manusia itu sendiri. Bahwa hubungan antar manusia itu tidak saja ditentukan oleh hubungan darah (keturunan), tapi lebih dari itu adalah hubungan ‘hati’ (iman). Maka di saat anaknya membangkang untuk ikut ayahnya ke atas perahu, Nuh AS sangat bersedih dan memohon kepada Allah SAW agar anaknya diselamatkan. Tapi Allah SWT secara tegas mengatakan ‘Dia bukan anggota keluargamu, sungguh apa yang kamu minta itu adalah perbuatan yang keliru’ (Al-Qur’an).
 
Didikan persepsi dalam kerangka perubahan persepsi itu sendiri di sini adalah mengajarkan bahwa anak atau keluarga itu ada dua macam. Ada anak/keluarga dalam hubungan ‘darah’ (biological) dan ada anak/keluarga dalam hubungan ‘hati’ (spiritual). Allah ingin merubah persepsi Nuh AS untuk kokoh dalam perjuangan bahwa ‘inti’ dari perjuangan kamu adalah merubah ‘hati’ manusia. Dan anak kamu pun jika tidak sehati dengan kamu, berarti bukan dari kalangan keluarga yang engkau perjuangkan.
 
Sekiranya kita ambil contoh ynag lain, Ibrahim AS misalnya. Maka sungguh proses perubahan itu begitu besar, dan dengan perjalanan panjang yang duka dan duri. Ibrahim AS dibesarkan dalam lingkungan yang terhormat. Ayahnya adalah saudagar kaya dan punya koneksi dengan penguasa. Tapi kecerdasan (baik akal maupun spiritual) Ibrahim tidak menjadikannya terbuai dengan semua kemudahan dan kemurahan hidup itu.
 
Kata batinnya pun memberontak. Melakukan resistensi dengan masyarakat sekitar yang telah menerima keadaan sebagai sesuatu yang normal. Di sinilah Ibrahim bangkit melakukan perubahan, mulai dari perubahan dirinya sendiri denagn merubah persepsi dasar dalam keyakinannya. Perjalanan panjang mencari kebenaran itu berakhir dengan ‘Sungguh saya menghadapkan wajahku kepada Tuhan Pencipta alam, tiada sekutu bagiNya’.
 
Perubahan persepsi dasar itu (akidah) menjadi modal utama Ibrahim kemudian untuk melakukan perubahan secara luas. Singkatnya, perjalanan hidunya, dari Madyan ke Jerusalem, lalu ke Mekah, semuanya ditujukan untuk membawa perubahan besar dalam kehidupan manusia. Bahkan perubahan yang telah dibawa Ibrahim itu tidak saja berlaku untuk masanya sendiri, melainkan menjadi bato fondasi perubahan dunia yang terjadi berabad-abad kemudian yang dimulai di kota Mekah dengan terutusnya Muhammad SAW, penutup semua rasul.
 
Konsep Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
 
Dalam ajaran agama ini, berbagai konsep menunjukkan urgensi pergerakan dan perubahan. Satu dari banyak konsep itu adalah konsep amar ma’ruf nahi mungkar. Bahkan jika dikaji kembali ayat-ayat yang berkaitan dengan amar ma’ruf nahi mungkar, didapati bahwa konsep ini seolah peng-awal, dalam artian semua amal kebajikan itu dimulai dengan proses amar ma’ruf nahi mungkar, dan juga pengawal, dalam arti menjaga agar amal-amal kebajikan itu tidak terhenti atau terbalik menjadi amal-amal ‘ketidak bajikan’.
 
Jika kita melihat sekali lagi ayat-ayat tentang keumatan di Surah Al-Imran (102 -110) Nampak bahwa kejayaan umat, dan bahkan proses menuju kepada ‘umat terbaik’ (khaeru ummah) menuntut adanya proses yang disebut amar ma’ruf nahi mungkar itu. ‘Dan hendaknya ada di antara kamu yang mengajak kepada kebaikan, menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari kemungkaran. Dan merekalah itulah orang-orang yang beruntung’. Beberapa ayat kemudian disebutkan: ‘Sungguh kamu adalah umat terbaik yang telah dilahirkan kepada manusia, mengajak kepada yang ma’ruf, melarang kemungkaran dan beriman kepada Allah’.
 
Inti amar ma’ruf dan nahi mungkar adalah ‘perubahan’. Dan oleh karenanya, dalam kehidupan beragama pun, termasuk ibadah-ibadah khusus (shalat, puasa, haji, dzikir, dst.) menuntut adanya hal tersebut. Sebab hanya dengan upaya-uapay seperti itu semua amalan itu akan tetap terjaga dan tumbuh secara alami. Bukan merubah cara beribadah, tapi merupah ‘pola pikir’ ibadah yang terbatas kepada hanya sebagai ‘tabungan akhirat’ yang tidak meiliki konsekwensi sosial. Shalat, puasa, haji berkali-kali, tapi secara sosial juga semakin amburadul.
 
Antisipatif dengan alam sekitar
 
Ketika seorang Muslim shalat, maka dia memulai shalatnya dengan mengangkat tangan seraya mengucapkan ‘Allahu Akbar’. Itulah komitmen seorang hamba kepada sang Khaliq.
 
Namun shalat seorang Muslim tersebut tidak akan diterima dan sah jika tidak ditutup dengan menoleh kanan dan kiri seraya mengucapkan ‘assalamu alaikum warahmatullah’. Itulah komitmen kepedualian sosial seorang saudara dan sahabat.
 
Menoleh ke kanan dan ke kiri adalah simbolisasi antisipasi alam sekitar dan kepedualian sosial. Artinya, seorang Muslim itu akan selalu membuka mata terhadap segala fenomena alam skitar, sehingga komitmen langit (vertical ) tidak harus menjadikannya buta terhadap realitas dunia yang digambarkan dengan pergerakan dan perubahan tadi.
 
Umat ini adalah umat yang antisipatif dan sensitive dengan alam sekitarnya. Sadar akan segala peristiwa dan tahu (karena membaca: IQRA) bagaimana menghadapinya secara positif sehingga mampu menjadi pelaku dalam hiruk pikuk pergerakan dan perubahan itu. Umat ini sadar akan tugas ‘khilafah’ untuk nenentukan kemana arah perjalanan seharusnya hidup manusia mengarah.
 
Jika umat ini tidak bangkit melakukan tugas tadi, maka akan ada dua kemungkinan konsekwensi: Berubah (atau dirubah) secara paksa yang terkadang menuntut harga yang mahal. Atau terombang-ambing sebagai obyek dan korban gelombang pergerakan dan perubahan yang pasti adanya.
 
Wahai umat di seluruh dunia, wahai Mesir, Yaman, Yordan, Syria, wahai Negara-negara khalij (Saudi Arabia, Kuwait, Imarat, Oman, dan Qatar), hentikan arogansi khalijiyah. Sadarlah! Silahkan memilih, menjadi agen atau korban perubahn!
 
New York, 6 Februari 2011